Blog

Jurnalis Warga (1) Beda Jurnalis dan Tukang Tulis

Apa beda seorang jurnalis dengan seorang penulis opini, esai, atau penulis surat pembaca? Banyak persamaan di dalamnya, misalnya sama-sama bisa menulis secara runtut dan mudah dipahami. Mereka bisa sama-sama menguasai teknik jurnalistik. Bisa juga sama-sama tahu tentang berbagai teknik penulisan, misalnya "piramida terbalik" atau "jurnalistik sastra" dan sebagainya.

Singkat kata, mereka sama-sama bisa menjadi “tukang membuat tulisan”, apapun bentuknya. Lantas, apa perbedaannya?

Baik, dalam kesempatan ini saya sekadar ingin melengkapi tulisan rekan Anwariansyah dan Yunus Bani Sadar mengenai wartawan warga. Hal itu untuk mempertegas batas antara “wartawan/jurnalis” dan “bukan wartawan/jurnalis”. Pada bagian berikut, saya ingin urun rembug dan sedikit menghibur rekan Yunus Bani Sadar yang merasa galau karena jurnalis warga “tidak diakui” oleh lembaga-lembaga “resmi” semacam lembaga pemerintahan.

Profesi terbuka

Sampai saat ini lapangan jurnalistik merupakan profesi terbuka. Karena sedemikian terbuka, tak salah pula jika ada yang menganggap belum layak disebut sebagai suatu profesi, seperti halnya dokter, pendeta/pastor, notaris dan sebagainya yang memang menempuh pendidikan khusus.

Sebagai profesi yang terbuka, institusi pers (baik cetak maupun elektronik, termasuk online media) menerima tenaga dari berbagai sumber. Persoalannya adalah bahwa masing-masing institusi pers menerapkan standar yang berbeda-beda ketika menerima seseorang sebagai tenaga jurnalis. Meskipun demikian, sesungguhnya ada kapasitas pribadi yang merupakan syarat minimal bagi seorang jurnalis. Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa profesi jurnalistik merupakan kerja intelektual (Ashadi Siregar, Peranan Pendidikan Bidang Pers Bagi Generasi Muda, 1987).

Disebut intelektual sebab berkaitan dengan informasi dan alam pikiran. Informasi berasal dari masyarakat dan disampaikan ke dalam alam pikiran anggota masyarakat. Untuk bisa memperoleh informasi, seseorang harus memiliki kepekaan dan kritisisme sosial. Selanjutnya baru ia mengolah informasi itu dalam kaidah-kaidah teknis dan etis untuk nantinya disampaikan melalui medianya. Dan informasi itu akan menyusup ke dalam alam pikiran khalayaknya.

Dari sini dapat dibayangkan bagaimana beratnya pelaku profesi ini. Bandingkan saja dengan dosen perguruan tinggi. Seorang dosen hanya menyampaikan informasi yang berasal dari referensi yang sudah baku kepada sekelompok orang yang jumlahnya terbatas, yang memang berniat untuk mendengar dalam kelas-kelas yang dirancang dengan berbagai fasilitas. Sedangkan pelaku profesi pers harus mencari sendiri informasi itu dari masyarakat, kemudian mengolahnya sedemikian rupa agar menarik (kecuali ingin korannya bangkrut) sehingga informasinya dapat disampaikan pada orang yang tidak terbatas.

Terlebih lagi, khalayak media massa bersifat heterogen. Tingkat intelegensinya juga bermacam-macam. Dalam menghadapi heterogenitas inilah pelaku profesi media massa bekerja. Karena yang disampaikannya berupa informasi, ia harus berada selangkah di depan dibanding dengan khalayak medianya. Inteligensia dari pelaku profesi akan tercermin dalam informasi yang disampaikan oleh institusi media yang sampai pada masyarakat. Seorang pelaku profesi jurnalistik tidak mungkin dan tidak perlu menyamai orang yang punya inteligensia tinggi yang ada dalam masyarakat. Itu tidak mungkin. Yang penting adalah ia tahu informasi macam apa yang diperlukan oleh orang dengan inteligensi yang tinggi itu, dan tahu pula dari mana ia bisa memperoleh informasi tersebut. Dengan kata lain, berada selangkah di depan berarti dapat menjadi mediator yang tepat. Seorang wartawan tidak perlu menjadi doktor, karena tugasnya adalah menjadi mediator dari para doktor atau orang yang inteligensinya tinggi dalam masyarakat. Seorang wartawan tidak menuliskan apa yang ada dalam kepalanya, tetapi menyampaikan apa yang terjadi dalam kehidupan dan alam pikiran orang lain.

Sebagai mediator, pekerja pers memiliki fungsi yang strategis. Informasi yang disampaikannya bukan sekadar komoditi, tetapi juga memiliki makna sosial. Setiap informasi berasal dari masyarakat, baik sosio maupun psiko. Informasi yang bersifat sosio berasal dari perilaku obyektif yang terjadi dalam interaksi sosial, sedang yang bersifat psiko berasal dari dunia subyektif dalam alam pikiran manusia. Kedua sifat informasi ini harus dicari dan diolah oleh seorang wartawan. Masing-masing informasi ini memiliki karakteristik yang berbeda, yang menyebabkan wartawan harus mengembangkan kapasitas yang sesuai.

Dalam mencari realitas sosio dan psiko yang berasal dari masyarakat, dengan sendirinya seorang wartawan memerlukan kapasitas seorang wartawan. Yaitu memiliki kepekaan dan visi sosial. Kepekaan sosial adalah kapasitas diri untuk menerima tanda yang berasal dari kehidupan sosial, sehingga dapat menyerap fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Sedang visi sosial adalah adanya referensi yang dapat digunakan sebagai perbandingan dalam menghadapi fenomena. Di sini realitas sudah diangkat ke tingkat fenomena, yaitu hal yang memiliki makna (meaning) atau nilai (value). Hanya realitas yang memiliki makna atau nilai sajalah yang perlu diolah sebagai informasi yang akan disampaikan melalui media.

Kriteria makna atau nilai dapat ditinjau secara intrinsik dan ekstrinsik. Disebut makna atau nilai intrinsik jika terdapat di dalam realitas itu sendiri, sedang yang bersifat ekstrinsik merupakan makna atau nilai diletakkan atas fungsi yang berasal dari luar realitas itu. Pilihan atas realitas yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kriteria makna atau nilai yang diterapkan oleh seorang wartawan.

Dengan menyadari kapasitas yang mendasari kerja di bidang pers, kiranya dapat dibayangkan pendidikan yang relevan bagi orang yang tertarik ke dunia jurnalistik. Pertama, tentunya adalah pengembangan penalaran, yang merupakan bagian dari pengembangan metode berpikir analitis. Dengan kemampuan ini, seorang wartawan dapat mengenali realitas yang dihadapinya, dengan jalan melakukan kategorisasi dan perbandingan untuk mendapatkan makna atau nilai dari realitas tersebut. Dengan kata lain, penalaran diharapkan dapat menumbuhkan kepekaan sosial dari si wartawan.

Langkah kedua, tentunya pengembangan visi. Untuk itu sejumlah konsep ilmu-ilmu sosial perlu diperkenalkan. Terutama dengan memahami sejumlah grand theory dalam ilmu sosial, seseorang dibekali referensi untuk mengetahui sifat dari fenomena. Grand theory yang menjadi paradigma dalam melihat fenomena, perlu dilengkapi dengan konsep teoritis. Sebagaimana diketahui, konsep teoritis merupakan rangkuman yang diperoleh melalui metodologis dari realitas empiris. Sedang pekerjaan wartawan selamanya menghadapi realitas empiris, karenanya dengan adanya referensi ia akan memiliki visi. Visi seseorang adalah berupa kemampuannya untuk melakukan perbandingan dari sejumlah atau bagian fenomena, dan referensi teoritis dapat membantu dalam perbandingan itu.

Kemampuan bahasa

Jika kapasitas sebelumnya baru merupakan landasan dalam mencari realitas, langkah berikutnya adalah mengolah realitas tersebut. Untuk itu diperlukan penguasaan bahasa. Bahasa adalah cara untuk mewujudkan suatu realitas dalam komunikasi. Untuk wartawan Indonesia, dengan sendirinya bahasa yang mutlak harus dikuasai adalah bahasa Indonesia. Sering orang menanggap sudah menguasai bahasa Indonesia karena sudah digunakan sehari-hari. Penguasaan bahasa Indonesia seseorang tercermin dari kemampuannya untuk menggunakannya secara tertulis, bukan dalam penggunaan lisan sehari-hari. Sudah barang tentu penggunaan bahasa secara tertulis ini berdasarkan standar sosial. Artinya, bahasa yang dituliskan itu memang dapat digunakan sebagai alat komunikasi dengan khalayak luas, bukan untuk pribadi yang sudah saling kenal.

Teknik jurnalistik

Langkah terakhir barulah perlu belajar teknik jurnalisme/jurnalistik. Teknik jurnalisme ini sesungguhnya seperti halnya teknik pertukangan atau teknik menjahit dan sejenisnya. Siapapun bisa menguasainya, meski dengan kemahiran yang tidak sama, apabila telah relatif lama mengenal dan mempraktekkannya. Penguasaan teknik jurnalistik sama sekali tidak ada artinya jika tidak ditopang oleh penalaran dan referensi ilmu sosial. Penalaran dan referensi merupakan landasan untuk mencari apa yang dapat disebut sebagai fenomena. Sedang penggunaan bahasa secara tertulis dan teknik jurnalisme menjadi landasan untuk mengolah apa yang dapat menjadi informasi.

Dalam kaitan inilah saya ingin menyatakan bahwa selama kita hanya menguasai teknik jurnalistik, maka kita belum bisa mengklaim diri sebagai seorang jurnalis. Entah itu jurnalis “mainstream” maupun jurnalis warga.

Lebih dari itu, kalau kita memang telah mampu dan pantas menjadi jurnalis, maka kita tidak perlu berkecil hati menghadapi jurnalis media massa “mainstream”. Faktanya, banyak dari mereka sekadar menguasai teknik jurnalistik tanpa memiliki prasyarat minimal seorang jurnalis. Celakanya, banyak juga yang tidak menguasai teknik jurnalistik sekaligus tidak memiliki kepekaan, visi dan misi sosial yang seharusnya dimiliki seorang jurnalis.

oleh: Duto Sri Cahyono

(Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

:Wikimu - bisa-bisanya kita.../ Gelang merah untuk anak Indonesia

Bening CS© 2011 Design by Insight