Blog

Waspadai Ancaman Facebook Pada Anak Dan Remaja

Anak dan remaja ternyata adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak yang ditimbulkan kemajuan informasi dan teknologi dunia maya khususnya pengguna jejaring sosial. Berbagai kasus kriminal siber telah terungkap semakin meningkat. Bagaimana ancaman facebook terhadap anak dan remaja ? Dan bagaimana antisipasi yang harus dilakukan orangtua?

Polwiltabes Surabaya mengungkap perdagangan anak di bawah umur dengan mengunakan situs jejaring facebook. Polisi melakukan penggerebekan dan menangkap basah tiga orang selaku germo, penyalur, dan korban yang sedang beroperasi. Bosnya, sebagai penyalur dan pelaku lainnya bertindak sebagai germo atau mengantar korban ke pelanggan. Salah satu orang bertugas menunggu informasi dari teman lainnya tentang pelanggan. Sambil menunggu, “germo digital” tersebut membawa buku list anak-anak yang dikendalikan dan harganya. Dalam usaha kejahatannya, kelompok ini menggunakan situs percakapan seperti MIRC dan Yahoo Messenger (YM). Tidak jarang pula mereka memakai akun facebook untuk menarik pelanggan. “Germo Digital” itu yang menjadi penghubung antara pelanggan dengan anak-anak PSK, menunjukkan foto-foto anak yang akan diperdaya. Setelah memilih, keduanya pun menyepakati harga. Satu orang perempuan diberi kisaran tarif antara Rp 600.000,00 - Rp 800.000,00.

Kasus tersebut di atas adalah merupakan salah satu sisi negatif jejaring sosial facebook di antara berbagai manfaat positifnya. Contoh kasus lain seperti gadis cantik yang hilang dan orang tuanya menduga anaknya diculik setelah janjian di Facebook. Hal ini kembali menegaskan bahwa anak-anak sangat rentan menjadi korban pelecehan seksual di dunia maya. Para pedofili memanfaatkan Facebook untuk mencari korbannya yang masih anak atau remaja.

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 0-18 tahun tergolong usia anak-anak. Beberapa kasus yang pernah ditangani polisi, misalnya, kasus pornografi anak melalui sebuah situs, yang terbongkar Oktober 2009. Situs itu dibuat dan dikelola oleh warga Indonesia, berisi gambar anak-anak dari berbagai negara. Berdasarkan penyidikan, tingginya konsumen di Indonesia yang memesan rekaman gambar dari pengelola situs itu dapat diindikasi peminat pornografi anak di Indonesia kian tumbuh. Polisi dapat mengungkap kasus itu atas kerja sama dengan Australian Federal Police dan US Immigration and Customs Enforcement Attache Singapore.

Laporan soal praktik kejahatan seksual terhadap anak di internet selama ini kerap karena laporan dari luar negeri. Kejahatan ini borderless terjadi lintas batas. Pengelola situs yang memuat pencabulan anak-anak selama ini kerap memakai server di luar negeri. Meski demikian, kerja sama polisi antarnegara terkait pornografi anak dan terorisme menjadi prioritas penting kepolisian di negara-negara maju. Pelaku berbagai kejahatan tersebut akan dijerat Pasal 2 Yo 17 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Anak dan Pasal 88 UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kemajuan teknologi dan informasi yang sangat luar biasa bak pisau bermata dua. Pertumbuhan penggunaan internet khususnya jejaring sosial yang semakin pesat di Indonesia telah diakui membawa pengaruh positif dalam kehidupan manusia. Namun, di sisi lain internet juga berpotensi memberi dampak buruk, khususnya kepada golongan usia anak dan remaja. Anak-anak dan remaja menjadi golongan paling rentan tersasar praktik kejahatan siber, seperti pencabulan. Kejahatan siber merupakan kejahatan berbasis teknologi informasi. Meski kerap disebut kejahatan maya, dampaknya nyata. Secara terpisah, keduanya menjelaskan, sejumlah pihak sepatutnya saat ini lebih menyadari ancaman tersebut dan mencari solusinya.

Anak-anak dan remaja saat ini merupakan golongan masyarakat yang digital native. Sementara itu, generasi orangtua dari mereka saat ini masih cenderung menjadi digital immigrant. Akibatnya, kesadaran akan potensi negatif yang mengancam anak- anak dan remaja tidak disadari dan diseriusi oleh kalangan dewasa. Anak dan remaja dapat digambarkan sebagai digital native, merupakan kalangan serupa penduduk asli di dunia digital saat ini. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara, dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya yang diibaratkan sebagai digital immigrant. Adapun kalangan orangtua saat ini diasosiasikan sebagai digital immigrant atau penduduk pendatang yang masih berusaha beradaptasi di dunia digital.

Daya Tarik Facebook dan Jejaring Sosial Lainnya

Facebook, Twitter, Friendster dan berbagai jejaring sosial lainnya menyediakan data yang berlimpah bagi orang yang berniat tidak baik. Data itu antara lain nama, alamat, pendidikan, pekerjaan dan data demografis lainnya, serta hobi dan kecenderungan lainnya. Dengan mempelajari profil di Facebook, sesorang akan mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap orang lainnya. Kecuali data, Facebook dilengkapi dengan banyak fasilitas untuk berinteraksi, mulai dari email, berbagi foto, bahkan hingga chat. Bahkan saat ini fitur game online sebagai daya tarik utama lain bagi usia anak dan remaja.

Perpaduan kelimpahan data dan fasilitas interaktif itu sangat mempermudah orang menjalin hubungan dengan siapa saja bahkan dengan orang asing yang baru dikenal. Anak dan remaja yang masih polos, akan lebih mudah tertipu oleh kalimat-kalimat manis dibanding mereka yang sudah dewasa. Usia yang masih polos tersebut tanpa prasangka buruk, lebih mudah terjebak untuk berkomunikasi dan menjalin keakraban jika terus menerus diajak berkomunikasi dengan berbagai fasilitas di Facebook. Apalagi bila sang kawan memberikan suatu komunikasi yang menghanyutkan berupa pujian, perhatian dan atensi yang mendalam. Tidak mengherankan jika para penggemar sex dengan anak-anak di Amerika Serikat mencari korban via Facebook.

Facebook Bukan Untuk Anak

Dengan fiturnya yang memberi dampak luar biasa itulah Facebook jelas-jelas mengharamkan Facebook bagi anak-anak. Aturan tersebut jelas-jelas menunjukkan bahwa Facebook bukan untuk anak-anak. Demikian pula jejaring sosial lain yang sejenis seperti Friendster atau MySpace. Namun, banyak anak-anak Indonesia di bawah 13 tahun yang menjadi anggota Facebook, bahkan dengan sepengetahuan orang tuanya. Sebagian orang tua tersebut malah bangga anaknya punya akun di Facebook. Hal terjadi karena untuk melakukan registrasi sangat mudah untuk mengelabui usia pemohon. Fakta bahwa dari 17,6 juta pemilik akun asal Indonesia, 360 ribu di antaranya berumur 13 tahun.

Saya yakin, yang kurang dari 13 tahun mengaku berumur 13 saat membuat akun tersebut. Mengingat berbagai dampak buruk itu sebaiknya menghindarkan anak-anaknya yang belum berumur 13 tahun dari Facebook dan jejaring sosial sejenis. Kalaupun sudah terlanjur mempunyai akunnya harus dilakukan ekstra ketat untuk mendampingi saat membukanya. Bahkan untuk remaja yang sudah berhak membuka akun di Facebook pun, perlu mendapat perhatian dari orang tuanya. Bertemanlah dengan mereka di Facebook dan jejaring sosial lain, kenali teman-temannya, jadi sahabatnya di dunia maya, sehingga orang tua mengenal betul dengan siapa anaknya berteman di jagad maya ini.

Berdasarkan hasil riset Yahoo di Indonesia yang bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009, pengguna terbesar internet adalah usia 15-19 tahun, sebesar 64 persen. Riset itu dilakukan melalui survei terhadap 2.000 responden. Sebanyak 53 persen dari kalangan remaja itu mengakses internet melalui warung internet (warnet), sementara sebanyak 19 persen mengakses via telepon seluler. Sebagai gambaran, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2009 menyebutkan, pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta. Pertumbuhannya setiap tahun rata-rata 25 persen. Riset Nielsen juga mengungkapkan, pengguna Facebook pada 2009 di Indonesia meningkat 700 persen dibanding pada tahun 2008. Sementara pada periode tahun yang sama, pengguna Twitter tahun 2009 meningkat 3.700 persen. Sebagian besar pengguna berusia 15-39 tahun.

Masyarakat Indonesia pengguna internet juga cenderung menghabiskan waktu lebih lama di internet dibanding tahun sebelumnya. Data temuan lembaga keamanan Symantec Norton menunjukkan bahwa pornografi menjadi pencarian dalam jaringan online terpopuler yang dilakukan anak-anak selama 2009. Hasil mengejutkan ini merupakan temuan dalam survei terbaru lembaga keamanan internet, Norton. Seperti diungkap dalam stasiun televisi CBN News, tiga mesin pencari yang paling sering dipakai anak-anak yaitu YouTube, Google dan Facebook. Sementara kata ‘porno’ dan ’seks’ berada posisi kedua dalam data Symantec Norton.

Meski Simantec tidak mengeluarkan data negara mana asal anak-anak tersebut, tetapi paling tidak hal ini jadi perhatian para orang tua di Indonesia. Saat ini teknologi internet memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk dari kehidupan buah hati Anda. Internet bisa mempermudah mereka menyelesaikan tugas-tugasnya di sekolah. Tetapi dampak negatif dari internet juga tidak kalah besarnya. Ini merupakan pertanda bahaya bagi para orang tua jika mereka tidak memasukkan unsur seks dalam pendidikan anak-anaknya. Akibatnya anak berusaha belajar sendiri, padahal isi situs porno belum diperlukan anak.

Di antara 25 daftar pencarian paling utama, situs jaringan pertemanan, permainan, belanja, dan situs dewasa adalah favorit anak laki-laki. Sedangkan anak-anak perempuan lebih tertarik membuka jaringan sosial, musik, film, selebriti dan tayangan televisi. Penemuan melibatkan 14,6 juta pencarian pada Februari hingga Desember 2009 di sebuah situs pencarian gratis, OnlineFamily. Norton menyarankan agar orangtua menggunakan filter untuk memonitor penggunaan internet putra-putri mereka. Aktifitas online yang semakin meningkat di kalangan anak-anak telah menjadi ancaman. Orangtua perlu lebih dari sekedar memperingatkan anak mereka mengenai isi internet. Dalam keadaan seperti ini hal yang paling mendesak dilakukan orangtua harus berdiskusi bersama anak mengenai topik yang mengundang rasa ingin tahu mereka sekaligus melindungi anak dari ancaman dunia maya.

Praktik kejahatan selalu mengikuti perkembangan teknologi, dunia siber merupakan ladang subur bagi praktik kejahatan pada masa kini dan mendatang. Berbagai bentuk kejahatan konvensional bertransformasi ke dunia siber untuk memperluas cakupan secara efisien dan lintas batas/transnasional. Kejahatan siber menjadi sebuah keniscayaan zaman saat ini. Namun, kejahatan siber berkarakter memiliki fear of crime atau rasa terancam yang rendah sehingga itu membuat ancamannya kerap tidak disadari. Padahal, dampak kejahatan siber bisa secara nyata menjadi destruktif.

Salah satu yang kita lupa adalah ancaman pornografi anak atau kejahatan seksual pada anak-anak melalui internet. Sementara masyarakat kita masih sibuk dengan isu pornografi dewasa.

Seks Virtual

Rendahnya kesadaran akan ancaman tersebut tercermin pula dari minimnya laporan polisi terkait kejahatan seksual terhadap anak-anak melalui internet. Meski demikian, terdapat beberapa kasus yang pernah ditangani polisi berdasarkan informasi dari kepolisian di luar negeri, mengingat praktik kejahatan siber yang lintas batas negara. Kejahatan seksual yang bisa menimpa anak-anak, misalnya, pelecehan seksual terhadap anak-anak melalui chat room dan media sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter, dan lain-lain. Bentuknya, mulai dari tak adanya kontak fisik sampai yang berlanjut pada kontak fisik seperti yang terjadi di Surabaya. Salah satu contoh adalah chatting cabul di berbagai chat room. Unsur cabul itu bisa dimulai secara teks ataupun visual, baik foto maupun gambar video. Perangkat webcam sangat berpotensi memuluskan praktik pencabulan. ”Seperti contohnya virtual seks. Anak-anak chat dengan orang dewasa yang lalu menyuruhnya untuk membuka baju, memperagakan suatu adegan, dan sebagainya. Lalu, itu semua direkam oleh pelaku untuk dinikmati sendiri ataupun dengan orang atau komunitas sesamanya, baik gratis ataupun diperjualbelikan. Pencabulan melalui internet itu besar kemungkinan akan berakhir pula di dunia nyata, misalnya, pada akhirnya pelaku (predator anak) mengajak sang anak untuk bertemu.

Sejauh ini, ancaman kejahatan seksual terhadap anak-anak melalui internet dilindungi melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Pasal 27 Ayat 1. Namun, merebaknya kasus Prita menggiring opini kontra produktif yang membuat banyak orang ingin merevisi aturan yang sangat penting itu. Masyarakat yang sedang mabuk kepayang eforia kebebasan berekspresi jadi seperti tidak mau diatur di dunia siber. Padahal kalau mau bijak mencermati bahwa anak-anak yang paling rentan jadi korban di dunia siber, orang akan menjadi sadar bahwa pentingnya UU ITE tersebut.

Di negara maju, meskipun masyarakatnya amat menghargai kebebasan berpendapat, anak tetap terproteksi melalui perangkat hukumnya. Seseorang dapat dikenai hukuman amat berat jika kedapatan menyimpan gambar anak dengan pose erotis. Di bandara, petugas juga kerap memeriksa laptop penumpang untuk memeriksa materi bermuatan pornografi anak. Di Indonesia polisi belum terlalu banyak menangani masalah kejahatan seksual terhadap anak-anak melalui internet karena minimnya pengaduan. Orang tua kerap lengah ketika anak- anak mereka asyik berinternet, baik di rumah, melalui ponsel, maupun di warnet. Secara fisik anak tampak anteng dan baik-baik saja di depan perangkat digital, tetapi mereka boleh jadi telah terpapar hal-hal yang membahayakan, sekalipun fisiknya tidak terlihat tengah dalam kondisi yang berbahaya.

Pemerintah Kota Depok di bawah kepemimpinan Nurmahmudi Ismail perlu diteladani oleh pimpinan daerah lainnya. Beliau memanggil perwakilan dari ratusan kepala sekolah SMP dan SMA baik negeri maupun swasta, yang tersebar di 11 kecamatan, pasca terjaringnya sejumlah pelajar yang ketangkap basah bermain situs jejaring sosial Facebook pada jam sekolah. Tak hanya para kepala sekolah, sejumlah guru dan pengawas sekolah pun turut dipanggil untuk membuat kesepakatan atau perjanjian (MoU), melarang dan memperketat siswa keluar sekolah dan bermain Facebook di warung internet (warnet). Dalam perjanjian juga disebutkan, kepala sekolah akan mengundang para orangtua untuk membina anak-anaknya soal bahaya Facebook. Upaya untuk mengajak para pengusaha warnet agar tidak memperbolehkan siswa berseragam pada saat jam belajar adalah tindakan yang harus segera direalisasikan.

Tombol Panik pada Facebook

Facebook dan situs jejaring sosial lain segera menginstal ‘tombol panik’ yang berfungsi memudahkan anak-anak memberitahukan operator website ketika menemukan konten-konten tidak pantas terposting pada website tersebut. Sebanyak 140 perusahaan dan lembaga lain di Inggris setuju untuk mematuhi standar internet baru yang disusun penasihat pemerintah Inggris dalam mewujudkan penggunaan internet yang aman. Sistem tombol panik bagi para pengguna Facebook di Inggris itu mirip dengan sistem yang pernah diluncurkan situs jejaring sosial Bebo.

Pada intinya, fitur tombol ini dimaksudkan untuk melibatkan anak-anak pengguna situs jejaring sosial untuk aktif melaporkan keberadaan konten-konten cabul atau tidak pantas. Mereka juga bisa segera melapor ketika diganggu orang yang bermaksud melakukan pelecehan atau cyberbullying. Demikian keterangan yang dikutip dari Telegraph. Standarisasi ini juga memberikan peluang lebih besar kepada orangtua untuk mengawasi penggunaan internet, dengan sistem kontrol ’safe search’ yang mencegah putri putri mereka mengakses konten berbahaya. Menurut hasil penelitian regulator industri Ofcom di Inggris, sekira 35 persen anak-anak bisa mengakes internet di kamar tidur mereka tanpa pengawasan orangtua.

SAVE OUR CHILDREN

http://saveourchildren.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

:Wikimu - bisa-bisanya kita.../ Gelang merah untuk anak Indonesia

Bening CS© 2011 Design by Insight