Berangkat dari sebuah pengalaman hidup, ternyata membawa rahmat yang luar biasa. Bahwa perjalanan kehidupan akan membawa manusia pada proses menemukan diri dan membantu dalam mengarahkan tujuan hidup. Maka pengalaman tidak bisa disalahkan oleh orang lain.
Untuk lebih membantu agar pengalaman hidup lebih berarti, tentunya ada keterbukaan diri terhadap realitas. Realitas akan membawa kearah perubahan yang lebih baik, kembali kepada kesadaran akan hakekat manusia itu sendiri. Maka ketulusan hatilah yang akan membantu menyadarkan kita akan misi hidup.
Melibatkan diri dalam belajar Sewaktu tinggal di Papua dan memperoleh kesempatan mengajar di Sekolah menengah (Kolese Le Cocq d’Armandville Nabire), merupakan pengalaman yang luar biasa dan unik. Pengalaman ini membuka mata hati saya mengenai realitas pendidikan di daerah yang kaya akan sumber daya alamnya. Sungguh bahwa pendidikan menjadi terbelakang dikarenakan banyak faktor dan kesiapan sumber daya manusianya yang masih kurang maksimal.
Hal berbeda yang saya temui di sini yaitu dalam proses belajar mengajar yang sangat berbeda dengan pendidikan di Jawa. Begitu banyak fasilitas yang mendukung terciptanya proses belajar mengajar , namun itu tidak banyak ditemukan di Papua. Nah ini yang membuat sayapun kesulitan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Untuk itu kita perlu kerendahan hati untuk mengenali budaya mereka, adat, pola pikir, kebiasaan, itupun kalau diperlukan. Setidaknya akan lebih mempermudah kita seorang pengajar mengetahui pola tingkah dan sikapnya. Sekaligus dengan keterbatasan yang ada dapat memaksimalkan hasil yang ada. Apa jadinya kalau para pengajar tersebut membawa budaya dan karakter diri yang tidak bisa selaras dengan pola pikir mereka? Oleh karena itu kesediaan hati kita sebagai pendidik diharapkan dapat mengenali pola pikir mereka agar lebih mudah dalam berinteraksi.
Memang butuh waktu lama untuk mengenali pola pikir mereka, namun semangat yang bernyala-nyala tidak memadamkan api untuk berbagi dengan mereka. Berbicara pola pikir, tidak hanya sebatas pada tatap muka di kelas saja, melainkan ada waktu khusus untuk lebih memperdalam kemampuan kita mengenali pola pikir tersebut. Yaitu di saat waktu senggang, kita bisa meluangkan waktu mengunjungi rumah mereka dan membangun keakraban (building rapport) dengan orang tua dan siswa sendiri. Cara ini akan membuka ruang dialog dan saling terbuka dengan realitas masing-masing. Di saat istirahatpun merupakan waktu yang tepat dalam membangun keakraban (building rapport), sehingga siswapun merasa diperhatikan selama hidup dalam lingkungan sekolah. Merekapun menemukan tempat untuk menumpahkan isi hati dan berbagi.
Begitupun dengan kegiatan di luar intrakurikuler, kesempatan ini cocok untuk membangun keakraban lebih dalam lagi dan mengetahui aktifitas siswa dalam berbagai hal. Pengajar pun bisa langsung berinteraksi dan terlibat dinamika pola pikir siswa dalam memecahkan suatu masalah maupun membangun kepedulian bagi sesama. Dalam tradisi pendidikan kolese siswa akan terbentuk model karakter yang memadukan nilai-nilai, yaitu kecakapan intelektualitas (Competence), kepekaan hati nurani (Conscience), kepedulian terhadap sesama (Compassion).
Dalam lingkungan komunitas (wisma Jesuit) Papua di mana saya pernah tinggal, kebersamaan sangat membentuk sikap mental untuk menjadi pribadi mandiri dalam hidup. Membangun emotional approuch seperti menanamkan biji yang dapat ditunai pada waktunya, artinya pengaruhnya akan dirasakan di saat siswa mengawali belajar mengajar dan terlihat dalam perkembangannya di lingkungan sekolah maupun setelah meningglkan bangku sekolah.
Anggaplah kita pengajar menjadi orang tua mereka di sekolah dan lingkungan pendidikan. Dengan model seperti ini sekiranya dapat diketahui sejauh mana siswa dapat dibentuk/diarahkan seturut dengan karakteristik masing-masing pribadi. Dalam model pendidikan spiritualitas Ignasian pendekatan seperti ini lebih mengarahkan pendidik dan siswa untuk menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling asasi dan luhur . Jadi pendidik dan siswa memiliki posisi yang sama dalam belajar dan mengembangkan diri, saling berbagi, mengenali diri masing-masing untuk menuju kearah keluhuran manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Berbagi dalam Pelatihan Dalam buku karangan Pak Krishnamurti ”Share the Key” bahwa trainer itu seperti romo (rohaniawan Katolik), misinya ya berbagi saja atau dalam bahasa awam yaitu kegiatan motivator adalah berdakwah. Istilah berbagi, kita mempunyai sesuatu yang bisa berguna bagi orang lain. Baik itu dari kelebihan kita maupun kekurangan. Sehingga orang lain terbantu dengan sesuatu hal yang kita bagikan. Di situlah nampak bahwa manusia menjadi mahkluk yang paling luhur dan layak mendapatkan penghargaan. Begitupun saat training berlangsung, peserta menjadi fokus perhatian para trainer. Sama seperti seorang pendidik yang sedang berhadapan dengan siswa. Dalam trainingpun kesempatan untuk berbagi dapat dipahami dalam konteks, bahwa peserta diharapkan mampu menyerap materi dan dinamika pelatihan yang disampaikan sehingga lebih mengarahkan peserta dapat menggali pola pikir untuk kebaikan dan orang di sekitarnya.
Dalam konteks kolese sebagai pendidikan yang khas bukan pertama-tama hanya soal excellence dalam arti keunggulan akademis/intelektual tetapi sejauh mana pendidikan kolese sungguh bisa menggerakkan dan mengajak banyak orang yang belajar di dalamnya untuk melihat realitas dirinya dan juga realitas lingkungan sekitarnya (masyarakat, budaya, keadilan dan dialog antar umat beriman) dalam perspektif yang lebih luas dan bertanggungjawab . Berbagi dapat menjadi sarana belajar untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi banyak orang.
Seperti dalam bukunya Pak Krishna, bahwa bunda Teresa pernah mengatakan ”Bukan tindakan besar dan hebat yang menentukan hidup kita, melainkan kesetiaan dalam menekuni pekerjaan-pekerjaan kecil dan tidak berarti”. Hal sederhana yang dapat dipelajari dari Bunda Teresa adalah niat dan sikap diri serta melibatkan diri dalam pergumulan hidup bersama orang-orang yang terpinggirkan. Justru sebagai manusia yang sadar akan hakekatnya, kita mau rendah hati untuk peduli dengan sesama, serta belajar dari lingkungan kita.
Seperti St Ignatius saat berusia 33 tahun dan memutuskan untuk masuk seminari. Akan tetapi, dia telah melalaikan belajar bahasa Latin, suatu syarat penting untuk belajar di universitas pada masa itu. Sehingga dia harus kembali ke sekolah untuk belajar tata-bahasa Latin bersama-sama dengan anak-anak kecil di suatu sekolah di Barcelona .
Sederhananya, arti berbagi dalam buku ”Share the Key” Pak Krishna.......Ya berbagi saja, melayani siapapun dan kemanapun. Sang Pembelajar Selama training setidaknya trainer mulai untuk membuka pintu keakraban, sehingga suasana akan lebih nyaman dan hangat. Untuk itu dengan membangun keakraban diharapkan lebih tertanamnya sikap saling menghargai dan terbuka dalam berdinamika. Tidak hanya peserta training saja yang mesti mengolah pikir dan beraktifitas, namun trainernyapun mempunyai kesempatan untuk ikut di dalamnya. Ini lebih menghindari jarak antara peserta dengan trainer, dan menghindari suasana acuh tak acuh. Selain itu akan terbangun semangat kebersamaan, akrab, happy, komunikatif dan berakhir dengan hubungan personal. Sebagai seorang trainer tentunya memunyai pola pikir dalam memandang peserta training.
Mengapa? Ada hal yang kiranya perlu disentuh selama training berlangsung, yaitu relasi dan bahasa hati. Bahasa hati akan lebih dirasakan apabila seorang trainer memanusiakan manusia. Artinya trainer merupakan seorang pendidik yang terlibat dan melibatkan diri sepenuhnya dalam membangun individu agar menjadi manusia seutuhnya yaitu dalam kecerdasan sosial, emosi, spiritual dan intelektual . Memandang manusia secara utuh, menyadarkan kita akan diri sendiri dihadapan orang lain. Salah satu dimensi dalam tradisi Ignasian yaitu relasi antara orang dengan dirinya sendiri. Penghargaan terhadap diri sendiri merupakan sikap yang menyangkut pola berpikir, pola menilai, pola perasaan, dan pola tindakan dalam menentukan titik idealisme diri. Penghargaan terhadap diri sendiri merujuk kepada cara penerimaan diri yang menentukan bagaimana orang berpikir, berperasaan, mengambil keputusan, dan bertindak dalam relasinya terhadap sesama.
Ketidakbahagiaan seseorang terletak kepada caranya memandang diri sendiri. Semakin seseorang meremehkan diri sendiri, membencinya dan menolaknya, semakin jatuh orang tersebut ke dalam jurang depresi . Dengan memandang manusia seutuhnya, dan sadar akan relasi diri, kita diajak untuk terjun dalam pergumulan hiruk pikuknya dunia. Serta menumbuhkan aksi tindakan konkret, menjadi manusia pembelajar yang terus menerus melihat lingkungan sebagai sarana belajar. Menjadi manusia pembelajar butuh kerendahan hati, kesediaan diri serta sikap terbuka terhadap perubahan. Mau terlibat dan melibatkan diri memenuhi panggilan hati untuk berbagi kedamaian dan kebahagiaan. Itulah pribadi pembelajar.
oleh: Adolf Bramandita
Read more
Untuk lebih membantu agar pengalaman hidup lebih berarti, tentunya ada keterbukaan diri terhadap realitas. Realitas akan membawa kearah perubahan yang lebih baik, kembali kepada kesadaran akan hakekat manusia itu sendiri. Maka ketulusan hatilah yang akan membantu menyadarkan kita akan misi hidup.
Melibatkan diri dalam belajar Sewaktu tinggal di Papua dan memperoleh kesempatan mengajar di Sekolah menengah (Kolese Le Cocq d’Armandville Nabire), merupakan pengalaman yang luar biasa dan unik. Pengalaman ini membuka mata hati saya mengenai realitas pendidikan di daerah yang kaya akan sumber daya alamnya. Sungguh bahwa pendidikan menjadi terbelakang dikarenakan banyak faktor dan kesiapan sumber daya manusianya yang masih kurang maksimal.
Hal berbeda yang saya temui di sini yaitu dalam proses belajar mengajar yang sangat berbeda dengan pendidikan di Jawa. Begitu banyak fasilitas yang mendukung terciptanya proses belajar mengajar , namun itu tidak banyak ditemukan di Papua. Nah ini yang membuat sayapun kesulitan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Untuk itu kita perlu kerendahan hati untuk mengenali budaya mereka, adat, pola pikir, kebiasaan, itupun kalau diperlukan. Setidaknya akan lebih mempermudah kita seorang pengajar mengetahui pola tingkah dan sikapnya. Sekaligus dengan keterbatasan yang ada dapat memaksimalkan hasil yang ada. Apa jadinya kalau para pengajar tersebut membawa budaya dan karakter diri yang tidak bisa selaras dengan pola pikir mereka? Oleh karena itu kesediaan hati kita sebagai pendidik diharapkan dapat mengenali pola pikir mereka agar lebih mudah dalam berinteraksi.
Memang butuh waktu lama untuk mengenali pola pikir mereka, namun semangat yang bernyala-nyala tidak memadamkan api untuk berbagi dengan mereka. Berbicara pola pikir, tidak hanya sebatas pada tatap muka di kelas saja, melainkan ada waktu khusus untuk lebih memperdalam kemampuan kita mengenali pola pikir tersebut. Yaitu di saat waktu senggang, kita bisa meluangkan waktu mengunjungi rumah mereka dan membangun keakraban (building rapport) dengan orang tua dan siswa sendiri. Cara ini akan membuka ruang dialog dan saling terbuka dengan realitas masing-masing. Di saat istirahatpun merupakan waktu yang tepat dalam membangun keakraban (building rapport), sehingga siswapun merasa diperhatikan selama hidup dalam lingkungan sekolah. Merekapun menemukan tempat untuk menumpahkan isi hati dan berbagi.
Begitupun dengan kegiatan di luar intrakurikuler, kesempatan ini cocok untuk membangun keakraban lebih dalam lagi dan mengetahui aktifitas siswa dalam berbagai hal. Pengajar pun bisa langsung berinteraksi dan terlibat dinamika pola pikir siswa dalam memecahkan suatu masalah maupun membangun kepedulian bagi sesama. Dalam tradisi pendidikan kolese siswa akan terbentuk model karakter yang memadukan nilai-nilai, yaitu kecakapan intelektualitas (Competence), kepekaan hati nurani (Conscience), kepedulian terhadap sesama (Compassion).
Dalam lingkungan komunitas (wisma Jesuit) Papua di mana saya pernah tinggal, kebersamaan sangat membentuk sikap mental untuk menjadi pribadi mandiri dalam hidup. Membangun emotional approuch seperti menanamkan biji yang dapat ditunai pada waktunya, artinya pengaruhnya akan dirasakan di saat siswa mengawali belajar mengajar dan terlihat dalam perkembangannya di lingkungan sekolah maupun setelah meningglkan bangku sekolah.
Anggaplah kita pengajar menjadi orang tua mereka di sekolah dan lingkungan pendidikan. Dengan model seperti ini sekiranya dapat diketahui sejauh mana siswa dapat dibentuk/diarahkan seturut dengan karakteristik masing-masing pribadi. Dalam model pendidikan spiritualitas Ignasian pendekatan seperti ini lebih mengarahkan pendidik dan siswa untuk menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling asasi dan luhur . Jadi pendidik dan siswa memiliki posisi yang sama dalam belajar dan mengembangkan diri, saling berbagi, mengenali diri masing-masing untuk menuju kearah keluhuran manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Berbagi dalam Pelatihan Dalam buku karangan Pak Krishnamurti ”Share the Key” bahwa trainer itu seperti romo (rohaniawan Katolik), misinya ya berbagi saja atau dalam bahasa awam yaitu kegiatan motivator adalah berdakwah. Istilah berbagi, kita mempunyai sesuatu yang bisa berguna bagi orang lain. Baik itu dari kelebihan kita maupun kekurangan. Sehingga orang lain terbantu dengan sesuatu hal yang kita bagikan. Di situlah nampak bahwa manusia menjadi mahkluk yang paling luhur dan layak mendapatkan penghargaan. Begitupun saat training berlangsung, peserta menjadi fokus perhatian para trainer. Sama seperti seorang pendidik yang sedang berhadapan dengan siswa. Dalam trainingpun kesempatan untuk berbagi dapat dipahami dalam konteks, bahwa peserta diharapkan mampu menyerap materi dan dinamika pelatihan yang disampaikan sehingga lebih mengarahkan peserta dapat menggali pola pikir untuk kebaikan dan orang di sekitarnya.
Dalam konteks kolese sebagai pendidikan yang khas bukan pertama-tama hanya soal excellence dalam arti keunggulan akademis/intelektual tetapi sejauh mana pendidikan kolese sungguh bisa menggerakkan dan mengajak banyak orang yang belajar di dalamnya untuk melihat realitas dirinya dan juga realitas lingkungan sekitarnya (masyarakat, budaya, keadilan dan dialog antar umat beriman) dalam perspektif yang lebih luas dan bertanggungjawab . Berbagi dapat menjadi sarana belajar untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi banyak orang.
Seperti dalam bukunya Pak Krishna, bahwa bunda Teresa pernah mengatakan ”Bukan tindakan besar dan hebat yang menentukan hidup kita, melainkan kesetiaan dalam menekuni pekerjaan-pekerjaan kecil dan tidak berarti”. Hal sederhana yang dapat dipelajari dari Bunda Teresa adalah niat dan sikap diri serta melibatkan diri dalam pergumulan hidup bersama orang-orang yang terpinggirkan. Justru sebagai manusia yang sadar akan hakekatnya, kita mau rendah hati untuk peduli dengan sesama, serta belajar dari lingkungan kita.
Seperti St Ignatius saat berusia 33 tahun dan memutuskan untuk masuk seminari. Akan tetapi, dia telah melalaikan belajar bahasa Latin, suatu syarat penting untuk belajar di universitas pada masa itu. Sehingga dia harus kembali ke sekolah untuk belajar tata-bahasa Latin bersama-sama dengan anak-anak kecil di suatu sekolah di Barcelona .
Sederhananya, arti berbagi dalam buku ”Share the Key” Pak Krishna.......Ya berbagi saja, melayani siapapun dan kemanapun. Sang Pembelajar Selama training setidaknya trainer mulai untuk membuka pintu keakraban, sehingga suasana akan lebih nyaman dan hangat. Untuk itu dengan membangun keakraban diharapkan lebih tertanamnya sikap saling menghargai dan terbuka dalam berdinamika. Tidak hanya peserta training saja yang mesti mengolah pikir dan beraktifitas, namun trainernyapun mempunyai kesempatan untuk ikut di dalamnya. Ini lebih menghindari jarak antara peserta dengan trainer, dan menghindari suasana acuh tak acuh. Selain itu akan terbangun semangat kebersamaan, akrab, happy, komunikatif dan berakhir dengan hubungan personal. Sebagai seorang trainer tentunya memunyai pola pikir dalam memandang peserta training.
Mengapa? Ada hal yang kiranya perlu disentuh selama training berlangsung, yaitu relasi dan bahasa hati. Bahasa hati akan lebih dirasakan apabila seorang trainer memanusiakan manusia. Artinya trainer merupakan seorang pendidik yang terlibat dan melibatkan diri sepenuhnya dalam membangun individu agar menjadi manusia seutuhnya yaitu dalam kecerdasan sosial, emosi, spiritual dan intelektual . Memandang manusia secara utuh, menyadarkan kita akan diri sendiri dihadapan orang lain. Salah satu dimensi dalam tradisi Ignasian yaitu relasi antara orang dengan dirinya sendiri. Penghargaan terhadap diri sendiri merupakan sikap yang menyangkut pola berpikir, pola menilai, pola perasaan, dan pola tindakan dalam menentukan titik idealisme diri. Penghargaan terhadap diri sendiri merujuk kepada cara penerimaan diri yang menentukan bagaimana orang berpikir, berperasaan, mengambil keputusan, dan bertindak dalam relasinya terhadap sesama.
Ketidakbahagiaan seseorang terletak kepada caranya memandang diri sendiri. Semakin seseorang meremehkan diri sendiri, membencinya dan menolaknya, semakin jatuh orang tersebut ke dalam jurang depresi . Dengan memandang manusia seutuhnya, dan sadar akan relasi diri, kita diajak untuk terjun dalam pergumulan hiruk pikuknya dunia. Serta menumbuhkan aksi tindakan konkret, menjadi manusia pembelajar yang terus menerus melihat lingkungan sebagai sarana belajar. Menjadi manusia pembelajar butuh kerendahan hati, kesediaan diri serta sikap terbuka terhadap perubahan. Mau terlibat dan melibatkan diri memenuhi panggilan hati untuk berbagi kedamaian dan kebahagiaan. Itulah pribadi pembelajar.
oleh: Adolf Bramandita