Profesi guru dapat dikatakan sebagai profesi pelayanan di bidang jasa, sama halnya dengan orang yang bekerja di bidang kesehatan, atau di bidang jasa lainnya. Orang-orang yang bekerja dalam bidang jasa bekerja sesuai dengan moto yang dianut oleh instansi mereka, sebagai contoh “Kami melayani anda dengan senyum, kami melayani anda dengan sepenuh hati, Kepuasan pelanggan adalah komitmen kami, dan lain-lain”.
Namun sebagian guru ada yang telah melupakan motto mereka-tut wuri hadayani, sebagai konsekwensinya mereka cenderung mengajar sesuka hati, atau sesuai dengan kata hati saja. Barangkali karena mereka cuma banyak berhubungan dengan manusia kecil- anak didik, yang mungkin tak perlu pelayanan.
Orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan mungkin juga berfikir demikian pula. “Wah kan cuma melayani orang sakit, pasien yang baik, tentu pasien yang patuh dan tidak banyak ngomong dan mematuhi suruhan dan larangan rumah sakit”. Namun entah mengapa secara pelan-pelan pasien menyerbu rumah sakit di Malaka, di Negeri Jiran. Apa alasannya “kami puas dengan pelayanan yang mereka berikan”.
Baru-baru ini ada teman baru pulang dari mengikuti program magang guru di Australia (Program magang guru MIPA-guru SBI- Propinsi Sumatra Barat) mengatakan bahwa kualitas otak guru-guru kita tidak kalah dari kualitas guru-guru di Australia. Keunggulan atau kelebihan guru di sana adalah pelayannan mereka pada anak didik, atau prefesionalitas dalam pelayanan selama pembelajaran. .
Bila anak didik bertanya pada guru dalam suatu kelas, “Miss Nancy, I don’t understand about this subject”. Maka guru dengan serta merta segera bangkit, tersenyum dan buru-buru mendatangi bangku siswa sambil berucap “What Can I do for you”, kalau siswa mampu menyelesaikan sebuah problem, langsung memberi appresiasi “Oh great, how could you do that”, dan kalau siswa salah/ belum benar dalam mengerjakan soal, masih berucap hal-hal positif “That’s oke, I am sure you can do it”.
Hal yang kontra, tanpa merendahkan kualitas guru kita sendiri, kalau ada seorang siswa yang bertanya dalam PMB maka dengan bergaya seorang bos, siswa akan dipanggi ke depan/ ke meja guru “Yang tidak mengerti mari maju ke depan”. Atau komentar lain, “Ini saja kamu tidak mengerti”. Kemudian kalau siswa melakukan kesalahan dalam menjawab soal maka kita/ guru akan berkomentar, “Wah kalau begini cara kamu lebih baik kamu turun kelas atau ikut les privat saja !”. Alhasil banyak siswa cenderung memilih bungkem dari pada dimarahi atau ditertawakan guru.
Apakah ekspresi di atas terlalu mengada-ada atau tidak, namun fenomena tersebut dapat kita jumpai dengan mudah pada berbagai sekolah. Kalau begitu kenyataannya apa yang kurang bagi kita sebagai guru? Tentu saja kita kurang berjiwa besar, kurang menyadari bahwa kita digaji atau dibayar oleh negara untuk mendidik, apalagi bagi guru yang sudah menerima imbalan sertifikasi maka sudah sewajarnya kita menunjukan pelayanan prima- excellent service- dalam PBM, dan segera menjadi guru yang memiliki jiwa besar dan berfikir positif.
Berjiwa besar dan berfikiran positif ? David J Schwartz (1996) menulis buku dengan judul “The Magic of Thinking Big”, yaitu tentang berfikir dan berjiwa besar. Idenya sangat bagus kita adopsi, sebagai guru, agar kita bisa meningkatakan pengabdian dan pelayanan pada anak didik.
Kata “berfikir positif” sering diikuti oleh kata ‘berjiwa besar”. Dalam hidup banyak orang yang berbicara tentang kata atau frase tersebut. Ini menandakan kesadaran untuk menjadi manusia yang baik sudah menjadi dambaan. Orang yang memiliki pikiran positif dan sekaligus berjiwa besar sangat dihargai dan dianggap memiliki derajat yang tinggi. Menjadi orang yang berfikiran positif dan berjiwa besar dapat digapai dengan ilmu dan mengamalkan agama.
Dalam Al-Quran (58:11) dijelaskan bahwa Allah Swt meninggikan derajat orang yang beriman, yaitu orang yang diberi ilmu. Sekali lagi, bahwa untuk menjadi orang yang berfikiran positif, sangat membutuhkan ilmu pengetahuan, pembiasaan, atau latihan dan kesabaran. Berfikir positif sangat bermanfaat bagi guru sebagai pendidik. Salah satu manfaat yang kita rasakan adalah menjadi guru yang berhasil dalam mendidik.
Keberhasilan dalam hidup, apakah sebagai pebisnis, sebagai guru, wiraswasta, dan lain-lain, tidak bergantung pada besarnya otak yang kita miliki atau kecerdasan kita saat kuliah dulu, tetapi ditentukan oleh cara berfikir positif- berarti kemampuan afektif. Maka berarti bersekolah sudah tidak tepat lagi kalau hanya untuk mencerdaskan otak, namun membiarkan sikap atau kepribadian menjadi kerdil.
Harus diakui bahwa kita dan semua guru adalah produk dari cara berfikir orang di lingkungan kita- cara mereka merespon dan memberi kita stimulus sejak kecil. Coba ingat dan perhatikan cara berfikir orang tua kita, paman kita, tetangga, atau kenalan kita atau kita sendiri: “kalau badan saya cukup sehat cuma kantong saja yang sakit. Tetangga saya kerjanya cuma goyang-goyang kaki, tiba tiba kok jadi kaya mendadak…,kepala sekolah saya kerjanya mengurus proyek melulu….., Saya ingin maju tapi tidak punya waktu…!” Demikian beberapa komentar, yang terwujud dari cara berbicara dan cara berfikir kita dalam percakapan pribadi. Ini pertanda bahwa kebanyakan cara berfikir kita bisa jadi juga kerdil.
Anak-anak kita dan siswa-siswi kita menjadi orang baik atau menjadi orang buruk juga ditentukan dari cara berfikir kita. “Menurutku, kamu adalah anak yang baik. Kamu disenangi karena sungguh jujur atau saya tidak sudi lagi menajak kamu belajar di sini, …susah saya lagi untuk percaya padamu”. Kata kata yang kita ucapkan segera kita lupakan namun selalu tertancap dalam sanubari anak, adik dan kenalan kita dan sekaligus akan mempengaruhi pribadi mereka.
Eksistensi (keberadaan) diri kita memang ditentukan dari cara kita berfikir. Apakah fikiran kita menentukan diri kita sebagai guru yang berharga atau tidak. Kalau fikiran kita mengungkapkan diri kita adalah guru yang berharga maka mari kita wujudkan ke dalam penampilan , cara berpakaian, cara berjalan, cara tersenyum dan cara berbicara, Maka kemudian beritahu orang tentang apa yang bisa kita perbuat. “Apa yang bisa saya kerjakan buat anda ?” dan kita tidak akan berucap lagi “Maaf saya tidak sanggup”. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan kalau kita sungguh-sungguh ingin menjadi guru berhati lapang (berfikiran positif) tanpa pernah membiarkan jiwa tumbuh kerdil,yaitu: menjaga kualitas human relation, mempelajari tentang bagaimana menjadi guru berhati lapang atau berjiwa besar.
Never let personality grow small
Never let personality grow small atau jangan biarkan jiwa tumbuh kerdil. Ada hal-hal yang perlu kita hindari karena berpotensi membuat jiwa tumbuh kerdil seperti kebiasaan suka berdalih, memompakan pikiran negatif pada banyak orang, anti kerja keras dan malas. Hal-hal sepele ini bisa bercokol pada diri kita dan kadang kala kita pelihara sepanjang waktu.
Tidak bagus jadi pendidik yang gemar berdalih atau mencari-cari alasan. Namun kenyataannya kita gemar melontarkan ekspresi berdalih. Ketika kita diberi amanat untuk tampil kita berdalih, “Wah pak, janganlah dulu, saya belum siap…., wah pekerjaan itu terlalu mudah buat saya, atau apakah Bapak tega melihat saya berlumuran Lumpur…!”
Selanjutnya cegahlah pertumbuhan jiwa yang kerdil dengan memilki karakter suka belajar/ bekerja keras dan tekun dalam kehidupan ini. Untuk menjadi sukses, misal menjadi guru inti, menjadi kepala sekolah, menjadi widyaswara, menjadi penulis sukses- atau sukses pada bidang lain, maka diperlukan ketekunan dan kerja keras. Ki Hajar Dewantoro, telah member model buat kita. Ia sangat tekun dan suka kerja keras sehingga motonya “ing madya mangun karso, ing ngarso sing tulodo, tut wuri handayani’ dikenang sepajang zaman. Sayang banyak guru kurang paham dengan moto ini lagi.
Human relation
Cara kita berfikir, apakah cendrung berfikir negatif atau malah berfikiran positif, terlihat dalam human relation- hubungan kita dengan manusia lain seperti dengan teman, tetangga, family. Agar guru tidak terjebak dalam gaya berfikir kerdil maka tidak pantas kalau setiap kali berjumpa dengan seseorang, kita terjebak cuma berbicara tentang kesehatan kita sendiri. “saya kurang sehat kemaren tidak bisa mengajar , sudah tiga bulan diserang asam urat… sudah pergi ke puskesmas”. Kemungkinan percakapan tentang kesehatan sendiri akan membuat orang lain bosan, sebab dapat membuat kita menjadi rewel dan terkesan egosentris.
Masih seputar human relation bahwa kualitas diri kita ada pengaruhnya dari hubungan kita dengan orang lain. Kalau teman kita (walau sebagai guru) rata-rata misalnya pencandu “penyabung ayam atau suka taruhan atas pertandingan sepak bola” pasti kita juga dinilai sebagai guru dengan pribadi negatif- guru yang gemar berjudi. Memang orang dinilai berdasarkan siapa teman-teman mereka. The bird with the same colour fly together- burung yang sama bulunya terbang bersama.
Hubungan seseorang menentukan keberhasilan mereka. Guru bergantung pada keberadaan siswa, penjual bergantung pada pembeli, pedagang bergantung pada pembelinya, dan lain-lain. Profesi yang berhubungan dengan pelayanan lebih baik berfokus pada pemberian layanan yang prima- excellent service. Bila ini dilakukan maka pamor (nama baik), termasuk uang, akan datang dengan sendirinya.
Sebagai guru maka sangat bermanfaat bila kita memiliki hati yang hangat. Bagaimana suasananya bila seseorang yang berhati hangat datang menghampiri kita dan mengatakan “hallo”, “assalamualaikum” atau ungkapan greeting lainnya dengan mudah. Ini berarti bahwa ia sedang mengembangkan dan meningkatkan kualitas persahabatan dengan kita. Cara lain yang bisa menghangatkan persahabatan adalah dengan memberi perlakuan VIP (very important person) atau orang kelas satu pada orang lain, termasuk pada anak didik sehingga ini membuat mereka akan menyenangi bidang studi yang kita ajarkan.
Namun jika anak didik melakukan kesalahan, mengapa kita musti dengan enteng- menggunakan kekuasaan, membentak dan marah-marah pada mereka “Kamu keterlaluan pada saya…. tidak bisa menghormati saya sebagai guru”. Bukankah lebih santun kalau guru member nasehat dengan empat mata. Sebaliknya bila mereka memperlihatkan kerja keras dan hasil belajar yang bagus maka jangan lupa untuk memuji pekerjaannya. Dalam berkomunikasi guru harus menghindari sikap sarkasme (sikap kasar), sikap sinis dan sikap merendahkan orang lain.
Fikiran positif berasal dari kualitas fikiran
Otak adalah pabrik fikiran yang sibuk menghasilkan produk fikiran setiap waktu. lingkungan dan orang-orang sekeliling kita adalah ibarat laboratorium humaniora bagi diri kita. Kita sendiri adalah ahlinya untuk mengamati labor tadi. Kita dapat mengamati mengapa ada orang yang bisa punya banyak teman atau punya sedikit teman. Mengapa ada orang bisa berhasil atau gagal, atau biasa-biasa saja. Maka pilihlah dua orang yang berhasil dan dua orang yang gagal, cobalah mengobservasi dan menganalisanya. Maka akan kita temui dua contoh orang yang berfikiran postif dan berfikiran negatif. Mengembangkan pribadi yang pro berfikir positif tentu perlu strategi. Untuk itu ada strategi yang perlu kita lakukan dan hal-hal yang perlu kita hindari.
Ada guru yang memandang profesi guru rendah, “Wah apalah artinya kami cuma guru SD…!” Seharusnya sekalipun kita guru TK, SD, SMP atau SLTA harus tetap memandang diri dan profesi sebagai hal yang berharga- maka kita adalah manusia penting. Jika kita berbicara dengan orang lain, kita rasakan bahwa itu adalah percakapan dua orang penting. Guru yang berpribadi minder mungkin berkata “wah aku adalah orang yang tidak berhasil”. Seharusnya kita harus merasa diri kita penting dan begitu pula semua orang. “Renungkanlah bahwa anda, pasangan hidup anda, teman anda, siswa anda ingin pula dianggap penting. Semua orang mengidamkan prestise, ingin dihormati dan diakui”.
Guru yang merasa dirinya tidak penting berarti sedang menuju kehidupan yang biasa-biasa saja, “Wah buat aku arus belajar keras, bidang studi yang aku ajar bukan bidang studi untuk UN (ujian nasinal). Sehausnya kita menanamkan dalam fikiran bahwa kita dan bidang studi/ profesi kita adalah juga penting.
Hal lain yang perlu kita hindari, kalau di sekolah ada guru yang santai mencemooh guru-guru yang smart dan bersemangat, Seolah olah berkesimpulan bahwa tidak ada gunanya untuk jadi guru yang tekun dan rajin, “Wah sok rajin, dunia ini tidak akan selesai oleh usaha kita sendiri”. Maka abaikan saja komentar guru atau teman yang berfikiran negatif tersebut.
Menjadi guru berhati lapang- berjiwa besar tidak boleh memonopoli percakapan. Namun coba pula menjadi pendengar, dan dapatkan teman untuk banyak belajar. Menjadi guru yang berhasil berarti harus tidak memiliki kebisaaan “suka menunda waktu, banyak nonton TV dan kebisaaan bergossip”. Namun rencanakan kerja tiap hari- pada malam harinya. Biasakan suka memberi apresiasi pada orang-termasuk pada anak didik,dan memberi komentar serta respon positif. Hindari memperlakukan manusia (anak didik) sebagai mesin, untuk diperintah dan diotak-atik. Sangat tepat memperlakuka anak didik sebagai manusia- yang juga perlu dihormati, dibantu dann dipuji secara pribadi.
Tindakan lain untuk menjadi guru yang berjiwa besar.
Bagaimana tindakan lain yang perlu kita terapkan untuk menjadi guru yang dianggap bisa berjiwa besar ? Setiap guru harus menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri. Tidak seorang pun yang memerintahkan kita untuk mengembangkan kualitas pribadi. Apakah kita mau berkembang atau tidak, tertinggal atau bergerak maju. Ini ditentukan oleh ketekunan pribadi kita dan membutuhkan waktu, kerja keras dan pengorbanan yang seius. Guru perlu menajamkan fikiran dengan membaca majalah professional pada bidang studi yang kita geluti, dan membaca buku lain seperti buku filsafat, komunikasi, agama, pedagogi untuk meningkatkan kualitas profesi dan pribadi kita sendiri.
Untuk itu mari kita putuskanlah untuk membeli satu buku yang mendorong semangat tiap bulan dan berlangganan majalah dan jurnal untuk menajamkan gagasan. Nanti akan kita rasakan betapa indahnya menjadi guru yang berjiwa besar. Semoga.
oleh: Marjohan M.Pd
Read more