Ketika kehidupan masyarakat dunia diharuskan tunduk pada kekuasaan industri minyak dan gas bumi, maka keluarga-keluarga kaum kecil di daerah pedesaan dan dusun-dusun terpencil pun berubah menjadi konsumtif.
Pasalnya kearifan lokal yang tradisional dianggap oleh kaum kontanisme yang konsumtif sebagai orang terbelakang. Pada hal sesungguhnya yang tradisional jauh lebih menjamin penjangnya usia bagi manusia, namun ketika ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi menguasai pola hidup manusia modern, perempuan di desa-desa terpencil yang seringkali dijadikan obyek penelitian, kearifan lokal tradisionalnya dianggap tidak relevan dengan zaman dan sangat membahayakan ketahanan dan keberlanjutan hidupnya.
Sementara itu di sisi lain, kearifan lokal harus dilestarikan dan dipertahankan, bahkan banyak penelitian pro kelestarian lingkungan hidup pada abad modern ini juga tak henti-hentinya mengkampanyekan slogan ‘Back to Nature’ and ‘Back to Culture’, yang pada prinsipnya mengakui kebajikan-kebajikan nilai kearifan lokal setiap suku bangsa di dunia sehubungan dengan system pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berwawasan lingkungan.
Jika mencermati konflik globalisasi ini, maka kita sampai pada titik kesimpulan bahwa sebenarnya kaum perempuan dan aksesnya terhadap SDA sesuai kearifan lokalnya sudah sangat terancam.
Hal ini seringkali diperparah oleh ketimpangan pola hubungan antara perempuan dan laki-laki, namun hingga sampai dengan saat ini masih banyak perempuan yang dikesampingkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
Sebagai contoh, kehadiran revolusi hijau yang menggunakan alat-alat berat juga menyebabkan partisipasi perempuan berkurang, pada hal perempuan mempunyai keunggulan dalam pemilahan benih, penyimpanan hasil pertanian dan pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan.
Pada masyarakat di pedalaman, perempuan juga merupakan pengelolah dan sumber pengetahuan akan potensi keanekaragaman hayati sebagai bahan makanan sehari-hari maupun yang berkhasiat sebagai obat. Sebenarnya perempuan yang sebenarnya dapat mengatur sendiri keberadaan dapur tradisionalnya, terkadang harus menunggu keputusan orang lain dalam menentukan kondisi dapurnya.
“Hal ini berarti bahwa pembangunan di Indonesia sangat bisa gender dan tidak menghhormati hak akses kaum perempuan dalam proses-proses pembangunan, terutama dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pada hal, segala suku bangsa di dunia termasuk orang Papua mengakui bahwa ‘Tanah adalah Ibu Kandung’ bagi suku bangsa yang hidup dan mendiami suatu wilayah tertentu di bumi ini.”.
Ada lima faktor yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, Pertama, pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih menganut paham patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan kepada kaum laki-laki di banding perempuan. Kedua, banyak produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik formal maupun informal (hukum adat) yang bisa gender. Hal itu dapat dipahami karena produk hukum tidak terlepas dari pengaruh untuk mengakomodasi tata nilai kultural suatu masyarakat.
Dikatakan Pitsaw lanjut, Ketiga, dampak lebih lanjut muncul kebijakkan dan program, pembangunan yang masih bisa gender karena setiap kebijakan adalah keputusan politik yang merupakan bagian dari aspirasi sosial masyarakat.
Keempat, kondisi itu didukung oleh masih banyaknya penafsiran terhadap aktualisasi ajaran agama yang kurang tepat karena terlalu berat pada pendekatan tekstual (tersurat) dan parsial (sepotong-potong) dibanding kontekstual (tersirat) dan holistik (menyeluruh).
Sedangkan faktor yang terakhir (Kelima), yakni kelemahan, kurang percaya diri dan inkonsistensi serta tekad kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan nasib kaumnya. Pasalnya kelemahan itu bisa disebabkan oleh pengaruh tata nilai di atas atau kemungkinan faktor lain masih perlu ditelaah secara mendalam.
Akhirnya terjadi suasana yang berbeda yaitu pada satu sisi ingin mengangkat derajat perempuan sedang sebaliknya subur upaya merendahkan harkat dan martabat perempuan. Lalu kepada siapa tumpuan kesalahan ini ditimpahkan, apakah kembali kepada kaum laki-laki, pemerintah, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, politisi, penegak hukum, media massa atau kaum perempuan itu sendiri?
Lantas apa yang harus dibuat untuk hak asasi kaum perempuan di Tanah Papua? Akomodir kelemah-lembutan kaum perempuan untuk dijadikan kekuatan dalam upaya mendorong perubahan-perubahan yang mengarusutamakan kaum perempuan di Tanah Papua.”
……Semoga !!!
(Jemmy Gerson Adii)
Coba Slot Online Demo PG Soft Yang Mengasyikan
2 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar