Gerakan feminisme yang dimulai berabad-abad lalu di Eropa, bagaikan wabah, dia menular ke seluruh dunia tanpa bisa dicegah. Gerakan emansipasi wanita yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang kehidupan telah membuahkan hasil yang luar biasa dewasa ini, yakni wanita-wanita besi yang perkasa.
Kaum wanita berhasil menduduki berbagai jabatan penting dan strategis, meniti karir di pemerintahan maupun dunia usaha, di mana untuk meraih semua itu mereka mendapatkan bantuan penuh dari lingkungannya. Secara politik dan pemerintahan, telah diterbitkan perundang-undangan yang mendukung hak-hak perempuan, di segi sosial kemasyarakatan bermunculan gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi yang mendukung peran perempuan di tengah masyarakat, begitu pula dari pihak kaum laki-laki sendiri banyak yang mendukung gerakan kesetaraan gender ini melalui kekuatan jabatan atau posisi politis mereka.
Sekarang hampir semua posisi penting yang dulu hanya bisa diduduki oleh kaum pria, sudah mampu ditempati oleh wanita. Tidak kurang dari jabatan terendah di tingkat RT hingga tertinggi di pemerintahan seperti presiden atau perdana menteri. Apalagi hanya jabatan manajer atau presiden direktur, sekarang ratusan wanita telah berada di kursi itu.
Sedang para wanita mudanya memiliki agenda yang sangat jelas: mereka ingin karir, rumah rapi yang penuh dengan perabot modern, lemari besar penuh berisi pakaian, mobil yang mewah dan nyaman, serta anak-anak lucu yang akan disekolahkan di sekolah mahal. Dan laki-laki yang dipilih untuk wanita seperti itu adalah laki-laki yang lemah lembut, penurut dan mempunyai cukup kemampuan untuk memfasilitasi program mereka itu.
Dengan keberanian semangat feminisme, kaum perempuan berusaha keras untuk mematahkan kekuatan patriarki dengan mengubah kaum laki-laki menjadi banci konyol yang akan menangis bersama mereka ketika menonton drama-drama melankolis, atau meminta ampun ketika diancam akan ditinggalkan karena terlanjur mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.
Seperti halnya berbagai proses yang terjadi di alam, maka gerakan feminisme atau emansipasi wanita juga mempunyai efek samping. Sebuah proses penyeimbangan terjadi, ketika kaum wanita memperkokoh kedudukannya, maka terjadi dominasi wanita terhadap pria tanpa bisa dicegah. Proses penyeimbangannya adalah dominasi pria melemah dan banyak kaum pria tidak menyadarinya.
Ini bukan teori, tapi fakta yang sedang berlangsung di sekitar kita. Para pria yang ingin hidup aman di sekitar wanita sukses harus bisa mentransformasi diri – sadar atau tidak – menjadi lebih “sensitif” dan “feminim”, menjaga sikap dan kata-kata agar tidak menyinggung perasaan pasangannya, bisa menghibur di kala si wanita mengalami stres dan depresi, memahami keadaannya, mau menggantikan tugasnya di rumah, dan siap memenuhi kebutuhannya.
Banyak para suami sekarang yang tidak menyadari hal itu, dan menganggapnya sebagai suatu bentuk modernisasi kedudukan pria. Mereka berpendapat seorang suami yang baik adalah suami yang bisa mengurus rumah tangga, mengganti popok bayi, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan untuk sang istri yang akan berangkat kerja, dan siap menghiburnya di saat stres dengan permasalahan kantor.
Untuk berkonsentrasi pada pekerjaan dan masalah keluarga sekaligus, membutuhkan banyak energi sehingga mengharuskan wanita-wanita ini memilih pasangan pria yang mudah ditebak, tidak neko-neko dan aman, yang tidak akan mengganggu mereka dalam mengejar mimpi-mimpinya.
Produk terakhir kota besar adalah pria metroseksual. Para pria pesolek ini menekan maskulinitasnya demi disebut “modern” dan “pria ramah”, dan sosok mereka kemudian seperti tidak terpisahkan dengan perubahan perilaku seksualnya. Kebanyakan dari mereka pada akhirnya mengalami transformasi orientasi seksnya kepada lawan sejenis.
Tapi ini semua bukannya tidak menyimpan bahaya.
Suatu hari kaum wanita akan menyadari betapa membosankannya memiliki seorang pria yang tidak memberikan umpan balik, laki-laki yang tidak menawarkan tantangan atau bahaya - tetapi pada saat bersamaan dia merasa terjebak karena takut ditinggalkan. Sedihnya, banyak pernikahan seperti ini keadaannya.
Para perempuan mulai menyadari fakta bahwa kebanyakan laki-laki menjadi cengeng, membosankan dan tanpa kejantanan seksual. Feminimisasi kaum laki-laki ternyata tidak menghasilkan sosok pria yang diharapkan oleh kaum wanita. Dan sebaliknya, kaum wanita sekarang layaknya hewan tidak bertulang belakang yang lembek, dan diam-diam mereka membenci dirinya sendiri tapi terlalu sombong untuk mengakuinya.
Mereka kemudian mengalihkan perhatian kepada hal-hal yang bersifat materi, belanja yang berlebihan, pesta-pesta, kumpul-kumpul sesama feminis, untuk melupakan “si banci” yang membosankan, dan mencoba “cuci mata” di luar, melihat sosok yang lebih jantan.
Kaum laki-laki pun tidak semuanya tulus memerankan diri sebagai ”nice guy” di depan pasangannya. Di balik punggung si wanita, mereka mencari wanita lain yang lebih ideal, sesuai dengan harapan-harapan mereka; tidak dominan, penurut dan menempatkan diri mereka sebagai raja.
Sebetulnya tidak terlalu sulit untuk memperbaiki kekeliruan ini. Back to basic kepada hal-hal yang bersifat tradisionil, baik agama maupun adat. Kedua bidang ini mempunyai tata aturan yang mendasar, yang bisa dijadikan pegangan untuk meredakan gejolak yang buruk sebagai akibat liberalisasi tanpa batas. Liberalisasi itu ibarat langit tanpa tepi, maka agama dan adat adalah bumi tempat berpijak. Ketika anda terbang mengawang-awang, maka tiada tempat kembali selain bumi. Salam.
oleh: Abdullah Ibnu Ahmad
0 komentar:
Posting Komentar